Setangkai Mawar di Pelukan Ibu
Aku
diterima! Alhamdulillah setelah melalui perjuangan, aku diterima untuk
melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) yang selama ini aku
idam-idamkan. Aku diterima di jurusan Teknik Industri Pertanian, suatu
kehormatan yang besar karena jurusan ini menurutku jurusan favorit bergengsi.
Perkenalkan, namaku Imam, 17 tahun. Seorang pemuda sederhana yang tinggal
bersama seorang ibu yang sangat aku cintai. Benar-benar sangat aku cintai.
Seorang ibu yang selalu menyapaku dengat senyuman terindah ketika aku lelah,
seorang ibu yang selalu membuat santapan terenak dengan cinta dan kasih sayang
tiada tara, hingga tatapan penyemangat tiada henti di kala diri ini sedang
merosot tajam dalam kehampaan. Bersama ibu, aku tinggal di sebuah rumah
kontrakan kecil di daerah Ciawi. Ibu adalah orang Jawa yang sudah 10 tahun
tinggal di Ciawi, tetapi tetap entah kenapa tidak bisa berbahasa Sunda, hehe...
Satu hal yang kukagumi dari Ibu, walaupun sudah berusia hampir mencapai 55
tahun, tetapi semangatnya untuk bekerja tidak pernah luntur untuk membiayai
keluarga dan menambah uang saku kuliahku.
Sebentar lagi,
salah satu saat terberatku dalam hidup ini akan menyapa. Aku harus meninggalkan
ibu untuk melanjutkan studiku. Berat rasanya, meninggalkan ibu seorang diri.
Bagaimana bila terjadi apa-apa?
“Yo ra opo opo to le, kowe mesthi sinau sing
genah. Ora usah mikirke aku.” Kata ibuku dengan bahasa Jawanya yang khas.
“Benar kan bu
tidak apa-apa? Besok Imam berangkat. Kalau ada apa-apa, ibu bisa menghubungi
Imam ke nomor ini.”
“Wis tho gampang, cuma ibu mau pesan satu
hal saja,”
Aku berdebar.
Pesan?
“kowe mesthi mulih, Sabtu-Minggu iso le?”
Aku tersenyum.
Dengan tatapan hangat dan meyakinkan, kusampaikan pada ibu bahwa aku akan
pulang setiap akhir pekan. Aku memeluk ibu, cukup lama. Satu hal yang tidak aku
kira adalah ibu menyuruhku untuk membawa sepeda tua yang biasa ibu pakai
sehari-hari bekerja sebagai tukang cuci. Sebenarnya itu adalah sepeda ayah.
Sepeda itu masih bagus, kok.
“Kowe mesthi nggowo iki. Angkot sekarang
mahal diongkos.” Aku hanya bisa tertawa kecil, dan aku menuruti ibu.
Esoknya dengan
penuh semangat, aku berangkat. Wajah ibu yang hangat dan masih terlihat muda,
membuatku ingin memeluknya sekali lagi. Memohon doa restunya. Meminta ridho nya. Puas memeluk ibu, aku
berangkat dengan sepeda tua. Tidak masalah, Ciawi-Dramaga buatku biasa saja,
anggap saja olahraga. Toh dulu aku
pernah berjalan yang lebih jauh dari ini. Sepeda ini ternyata masih oke dan
fit. Aku bisa sampai ke Dramaga walaupun bersimbah peluh. Barang-barang besar
sudah kukirim ke asrama beberapa hari lalu, jadi sekarang aku tidak membawa
barang terlalu banyak.
Finally, IPB! Salah satu institut yang
paling banyak diminati orang untuk masuk melalui seleksi ketat. Aku bersyukur
bisa menjadi salah satu bagian dari sini. Lingkungannya baik dan kondusif.
Baiklah, aku mempersiapkan diri untuk menghadapi ospek nanti.
Was-was
terhadap ospek, karena kupikir bakal semenyeramkan MOS ketika di SMA. Tapi
ternyata tidak juga, malahan asyik banget lho.
Kalo di sini namanya MPKMB, sedikit
lebih panjang, hehe. Aku mendapatkan
banyak teman dari jurusan yang berbeda-beda. Tugasnya memang banyak banget sih,
padahal cuma seminggu rasanya kayak udah jalan sebulan. Tugas ini, tugas itu. Well, aku cuma ingin memberikan yang
terbaik. Maka seluruh tugas kukerjakan dengan sebaik-baiknya. Bahkan terkadang
aku ditunjuk untuk menjadi semacam leader,
jika ada tugas yang dikerjakan secara tim.
Siapa sangka
aku mendapatkan predikat peserta terbaik MPKMB? Memikirkannya saja aku tidak
pernah. Tetapi alhamdulillah, aku
tetap mensyukurinya. Sekali lagi, aku hanya ingin mengerjakan semua yang
diberikan dengan sebaik-baiknya. Tetapi sepertinya ini tidak berakhir sampai di
sini. Banyak teman-teman yang mendekatiku, terutama perempuan. Memang sih
beberapa track record ku belakangan
cukup baik. Pergaulan oke, organisasi oke, dan akademik juga bagus-bagus saja.
Sampai akhirnya tidak terasa, sudah satu bulan aku tidak pulang. Setiap Sabtu
dan Minggu, selalu saja ada hal yang membuatku ada di kampus. Mulai dari
acara-acara untuk maba (mahasiswa
baru), seminar dan kajian, hingga belajar atau olahraga bersama. Aku hanya bisa
menelpon ibu setiap Sabtu dan Minggu. Ibu jarang menelponku dengan alasan takut
mengganggu.
Jaringan alumni
SMA ku yang kuat menancap di IPB juga membuat waktuku untuk pulang semakin
sempit. Selama Bulan September aku ingat hanya pulang sekali menjenguk ibu. Ibu
kemudian membuat masakan yang menurutku sangat ‘wah’. Aku jadi tidak tega untuk
meninggalkannya lagi. Tetapi di HP ku ini, terus masuk SMS demi SMS dari
teman-teman dan senior. Seniorku waktu SMA tentu saja, karena SMA ku adalah
salah satu SMA negeri terbaik di Bogor maka konsekuensinya (katanya) lulusan
SMA ku adalah SDM-SDM yang diperhitungkan kualitasnya di IPB.
“Mam, malam ini kita ketemu ya di Al-Hurr
ngebahas BEM TPB”
Aku membacanya.
Lantas aku mengkomunikasikan hal ini dengan ibu.
“Ibu ga masalah nek kowe meh aktif organisasi. Tapi ya pulang, seminggu sekali wae.
Kowe kan wes nyanggupi to le.”, ibu
memaksakan dirinya tersenyum walau aku tahu itu berat.
Aku tidak tega
membiarkan ibu sendirian. Jangankan aktif di BEM TPB, tidak aktif saja belum
tentu aku bisa pulang sepekan sekali. Aku merenung, SMS senior tadi pasti ingin
mengajakku untuk terlibat aktif. Mungkin aku bisa mengkomunikasikan hal ini
dengan mereka dan mereka akan mengerti.
Malamnya di
kampus, aku ke Al-Hurr. Masjid megah indah menjulang di IPB yang menurutku
merupakan tempat yang sangat nyaman untuk berdiskusi. Kemudian, aku bertemu
dengan seniorku itu. Singkat kata: aku akan dicalonkan sebagai ketua BEM TPB.
Seperti yang diketahui, BEM di IPB ada yang namanya BEM TPB, badan eksekutif untuk
mereka di tahun TPB, tingkat 1.
Ini gila.
Kupikir hanya sebagai korbid atau semacam itu. Ini? Ketua BEM TPB. Mereka
bilang sih tidak terlalu sibuk. Aku
tidak percaya, karena orang-orang macam aku ini selalu memaksakan diri untuk
menuntaskan amanah, bahkan berinovasi jika diberikan posisi sestrategis itu.
Aku
komunikasikan semuanya kepada mereka tentang keadaanku. Justru semakin aku
berkata, mereka semakin kuat membantahnya. Aku kehabisan kata-kata. Apalagi
memang ibu tidak pernah melarangku ikut aktivitas seperti ini.
Singkatnya aku
maju sebagai kandidat, waktu itu pemilihan tanggal 16-17 November. Ibu, maafkan aku tidak pulang lagi bulan
ini....
Pengumuman
tanggal 23 November itu kemudian menggetarkan hatiku, memerahkan wajahku, dan
seolah menimpakan aku dengan dua batu besar ke bahuku yang lemah. Aku terpilih menjadi ketua BEM TPB.
Innalillahi wa inna ilaihi raji’uun.
Ciawi,
27 November
Seorang ibu tua
terduduk memandangi hanpdhone bututnya,
Nokia 3210 yang dibelinya seharga seratus ribu rupiah di salah satu konter di
pasar Ciawi. Menantikan sebuah kiriman SMS yang tidak kunjung datang ke inboxnya. Tanpa terasa, matanya terasa
penuh dengan air, berkaca-kaca. Ada sesuatu yang harus dia sampaikan kepada
anaknya. Tetapi, bagaimana bila hal tersebut mengganggunya? Saat ini, yang dia
tahu anaknya sedang belajar di salah satu universitas terkenal di negeri ini.
Ibunya mengambil selembar kertas, kemudian menuliskan sesuatu di situ. Dilipat
dengan rapi, dan ditaruh di suatu tempat biasa menaruh barang berharga. Di situ
ada perhiasan peninggalan suami, sebuah surat, dan foto Imam.
IPB
Dramaga, 22 Desember
Kamis pagi, aku
kuliah seperti biasa dan kemudian rapat BEM. Pagi, siang, sore, dan bahkan
menjelang malam aku masih di kampus. Ya Allah, seandainya saja waktu sehari itu
lebih dari 24 jam, karena aku merasa bahwa semua harus selesai sekarang.
Aku kemudian ke
kamar sahabatku di sebelah kamarku. Ada tugas kuliah yang belum kupahami.
Tetapi kemudian dia bertanya kepadaku, “Mam, sekarang ini hari ibu. Sudah
mengucapkan ke ibumu belum?”
Sontak aku
melupakan semua tugas dan pikiranku menuju satu orang yang sangat aku cintai:
ibu. MasyaAllah, bagaimana aku bisa
lupa? Dan kenapa aku harus ingat ketika hari sudah menjelang malam? Aku
langsung lari keluar, mengambil sepedaku, tidak peduli dengan tata tertib
asrama yang mengharuskanku menginap atau lapor. Aku cabut. Buatku ini adalah hal darurat. Aku berhenti sebentar di
sebuah toko bunga di dekat masjid setelah aku shalat maghrib. Ibu suka sekali dengan bunga mawar.
Aku kemudian
membelinya. Bunga mawar yang masih segar. Sepanjang jalan terus kukayuh
sepedaku, aku mengayuhnya dengan secepat mungkin yang aku bisa. Kapan terakhir
aku pulang ke rumah? Sepertinya hampir 2 bulan aku tidak pulang. Aku hanya
mengucapkan SMS-SMS singkat untuk ibu, menanyakan kabarnya, sudah makan atau
belum, dan aku tersadar, aku tidak pernah mengucapkan lebih dari itu.
Aku di sini punya banyak teman dan sahabat
berbagi cerita, ibu?
Aku di sini punya banyak orang yang
mencintai dan mendukungku, ibu?
Aku di sini selalu tertawa bersama setiap
makan bersama sahabat, ibu?
Aku di sini selalu bisa membahas isu-isu
seru pergerakan dengan teman dan BEM TPB ku, ibu?
Kenapa
tiba-tiba aku berurai air mata?
Aku sudah di
Tajur. Sebentar lagi sampai, ibu...
Aku membawakan mawar untukmu... Aku ingin
melihat senyumanmu yang terindah...
Sementara aku
merasakan ada getaran-getaran di saku celanaku. Handphone ku berdering. Paling dari BEM TPB yang sedang mencariku. Aku bisa menghubungi mereka nanti. Aku
sedang mengayuh sepeda. Tanggung.
Dua kali handphone berdering.
Tiga kali handphone berdering.
Empat kali handphone berdering.
Keras Kepala.
Aku pulang,
sampai rumah. Aku segera masuk dengan penuh harapan dapat menjumpai senyuman
ibu yang terindah. Tetapi di rumah tidak ada orang. Pintu tidak dikunci. Adzan
Isya’ berkumandang. Perasaanku tidak
enak. Aku mencoba positif. Aku tutup pintu rumah, mungkin ibu sedang keluar
ke warung. Aku shalat Isya. Handphone ku
berdering lagi.
Aku lupa bahwa
sudah 5 missed call, mungkin dari
orang yang sama. Tapi siapa? Aku buka handphoneku.
“Ibu (5)”
Ibu? Ibu
menelponku? Aku segera menelpon balik ibu. Aku sengaja tidak menelponnya
sebelum sampai rumah. Aku ingin memberikannya kejutan dengan bunga mawar ini.
Tut.... tut....
Tut.... tut....
Tut.... tut....
“Assalamualaikum,” terdengar suara berat
laki-laki menjawab telponku. Seperti suara Pak Eman, ketua RT.
“Waalaikumsalam,
i... ini Pak Eman?”
”Iya, nak Imam.
Ini Pak Eman... Kenapa tadi telponnya ga diangkat? Kamu lagi di mana sekarang?”
“Saya di rumah,
Pak. Baru sampai. Kenapa hape ibu
saya bisa sama Bapak?”
“Di rumah?
Segera ke RSUD Ciawi, Mam.”
“Ada apa Pak?”
“Bapak tunggu
di RSUD Ciawi. 5 Menit yang lalu ibumu dilarikan kemari.”
Sambungan
terputus.
Perasaanku
semakin tidak enak. Entah kenapa badanku menjadi sedikit gemetar. RSUD Ciawi?
Ibu dilarikan 5 menit yang lalu?
Segera kukayuh
sepedaku, ibu pasti belum jauh. Kenapa ibu dilarikan ke RSUD Ciawi? Menggunakan
ambulance? Atau mobil tetangga? Aku tidak memikirkan itu. Aku mau ibu.
Hanya 15 menit
aku sudah sampai di RSUD. Aku langsung bertemu dengan Pak Eman yang langsung
menungguku di depan rumah sakit. Aku langsung bertanya, ada apa? Mengapa ibu
dilarikan kemari?
“Nak, kuatkan
dan tenangkan dirimu.” Kata Pak Eman dengan nada yang lembut.
Aku tidak
percaya. Ibu meninggal 5 menit yang lalu
karena TBC.
Aku segera
memacu kakiku. Aku berlari, aku berlari. Tidak
mungkin. Ibu masih ada. Ibu, ibu pasti masih ada. Ibu belum jauh, ibu belum
meninggal. Sampai kemudian aku benar-benar melihatnya dengan mataku
sendiri. Terbujur tenang dan damai di bangsal ICU. Tiba-tiba aku teringat semua
kenangan tentang ibu, hingga suara Al-Quran yang selalu dilantunkannya sehabis
maghrib di rumah.
Aku merasakan
sesak yang sangat. Aku kehilangan saat-saat terakhir bersama ibu. Aku tahu ibu
TBC, tapi aku pikir ibu telah sembuh. Aku tahu ibu masih ada di ruangan ini.
Aku tahu ibu belum jauh. Ibu, terimalah mawar ini. Aku mengecup kening ibu,
memuntahkan semua rasa kasih sayangku yang bisa kuberikan padanya, sambil
menyelipkan setangkai mawar dalam pelukannya. Setangkai mawar dalam pelukan ibu
ini menjadi saksi bahwa aku menyelipkan beribu doa, doa seorang anak yang
sangat cinta kepada ibunya untuk diberikan tempat yang terindah di sisiNya.
Selamat jalan ibu, aku sayang ibu...
Arry Rahmawan, adalah Inspirator CerdasMulia, Direktur Penerbit Granada, wakil ketua Center for Entrepreneurship Development and Studies Universitas Indonesia, sekaligus praktisi pengembangan SDM. Telah mengantongi ribuan jam terbang sebagai pembicara, motivator, dan konsultan khususnya untuk pelajar dan mahasiswa. Direktur Pengembangan Bisnis Permata CerdasMulia Indonesia ini dapat dihubungi via email di arry.rahmawan@gmail.com atau follow twitternya di @ArryRahmawan
Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Arry Rahmawan sebagai penulisnya dan Blog Kak Arry sebagai sumbernya