Pada akhir
bulan Januari 2012, saya sempat tercenung sejenak mengenai sebuah surat yang dikeluarkan
Dirjen DIKTI. Isi surat tersebut menarik karena mengharuskan kalangan akademisi
yang ingin lulus dari perguruan tinggi memiliki makalah atau karya tulis yang
dipublikasikan. Menariknya adalah latar belakang yang kemudian membuat surat
keterangan ini keluar. Indonesia saat ini tertinggal cukup jauh dalam pembuatan
karya ilmiah dibandingkan dengan negara tetangga (Malaysia), yang bahkan hanya
sekitar sepertujuh! Belum lagi jika kita membandingkan dengan negara-negara
yang lebih maju. Bagaimana bila dibandingkan dengan negara Jepang, China,
Singapura, negara-negara Eropa Barat, dan Amerika Serikat? Padahal Anda tahu
produktivitas dihitung dengan output per
input. Padahal input (jumlah
penduduk) di Indonesia nyaris 9 – 10 kali dengan negara-negara maju.
Melihat fakta
itu, saya merinding. Indonesia punya potensi besar untuk mengungguli
negara-negara maju tersebut. Dengan catatan: tingkatkan ouptunya.
Kemajuan Bangsa Berawal dari
Membaca
Padahal jika direnungkan,
Indonesia memiliki penduduk dan akademisi yang cukup banyak. Tetapi mengapa masih
dapat tertinggal jauh sekali dalam produktivitas menghasilkan karya tulis? Kalau
dulu ketika membaca buku Spiritual
Reading karya Dr. Raghib As-Sirjani, saya seperti ingin sekali membaca
semua buku di dunia. Dr. Raghib mengatakan bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang banyak membaca. Beliau bahkan
membuat sebuah ilustrasi di mana Jepang, rata-rata setiap penduduknya membaca
40 buku per tahun, disusul kemudian dengan Amerika Serikat dengan kisaran 15-20
buku dibaca tiap orang per tahunnya. Yang mengenaskan adalah di kawasan timur
tengah, setiap orang hanya membaca 1-2 tiap tahun. Indonesia? 100-200 lembar,
itu pun belum dihitung berapa masyarakat kita yang masih belum dapat membaca.
Lihat
kemajuannya sekarang, apa yang dikatakan beliau benar adanya! Jepang, Amerika,
dan negara-negara Eropa Barat terbukti hingga saat ini memimpin kemajuan dunia.
Berbagai macam penelitian, penemuan, inovasi, bahkan sampai orang-orang di dunia
seperti ‘berebut’ ingin merasakan bagaimana dahsyatnya belajar di negara-negara
maju tersebut. Universitas seperti Harvard, MIT, Stanford, Cambridge, Oxford,
Todai, dan primadona lainnya itu semua berasal dari negara-negara ‘peringkat teratas dalam membaca buku
terbanyak’.
Indonesia
sebagai sebuah negara dengan penduduk
muslim terbesar di dunia jarang sekali saya menemukan mereka ingin
melanjutkan kuliah ke timur tengah, kecuali dari lulusan pesantren dan itu pun
ingin memperdalam ilmu agama Islam. Padahal sahabatku semua, bukankah ayat
pertama yang turun dalam Islam itu adalah ‘iqra’? Bukankah ayat pertama yang
menandakan turunnya agama yang mulia dan rahmat bagi seluruh alam ini adalah
perintah untuk membaca? Maka izinkan saya menuliskan sebuah opini dan refleksi
untuk bangsa Indonesia ini bukan karena keberpihakan pada suatu agama, tetapi
memang Islam itu lahir untuk semua manusia.
Refleksi Islam di Abad
Pertengahan
Sebelum lebih
lanjut, izinkan saya untuk mengulang kembali sejarah emas peradaban Islam. Jika
Anda membuka catatan-catatan (yang menurut saya) sengaja dihilangkan tentang peradaban Islam pada abad 8 sampai 16
masehi maka akan banyak prestasi-prestasi gemilang di sana. Anda akan menemukan
ada ilmuwan bernama Al-Khawarizmi yang menemukan angka nol dan perhitungan
aljabar. Anda akan mengetahui bahwa dulu khalifah Harun Ar-Rasyid dari Bani
Umayah memiliki Baitul Makmur, perpustakaan
dengan buku puluhan jilid yang untuk membukanya saja membutuhkan banyak unta
untuk mengangkut kuncinya. Tokoh seperti Ibnu Sina yang membuat buku kanun sebagai landasan kemajuan
kedokteran barat, Al Biruni sang ahli farmasi, filosofi, dan juga ilmu
pengobatan, dan banyak lagi yang lainnya. Ketika kemudian karya-karya mereka
diteliti kembali oleh ilmuwan barat, justru nama ilmuwan barat lah yang
kemudian diagung-agungkan sebagai penemu-penemu hebat.
Masih
kekurangan contoh? Saya masih ada beberapa contoh lain dalam rentang abad
tersebut. Contoh ini yang semakin membuat Islam memang suatu ajaran agung bagi seluruh
alam semesta. Seorang Imam Ibnu Jauzi selama hidupnya mampu menghasilkan 519
karya buku. Bahkan seorang murid beliau mengatakan, jika dikalkulasikan umur
yang beliau miliki dengan buku yang beliau hasilkan maka beliau dalam sehari
mampu menulis sembilan buku seukuran buku tulis. Ada lagi contoh lainnya, Imam
Ibnu Aqil mampu membuat sebuah ensiklopedia lengkap yang berisikan berbagai
macam ilmu, mulai ilmu Islam hingga pengetahuan umum sebanyak 800 jilid. Imam
Ahmad, salah seorang ahli fiqih terkemuka dalam Islam senantiasa menghargai
waktunya untuk membaca dan menulis. Bahkan beliau terus belajar dan menulis
dalam kondisi tidurnya, hingga jika ditanyakan, “wahai imam, mengapa Anda tidak
beristirahat?”, maka beliau menjawab, “tiada kata istirahat kecuali kita telah
berada di dalam syurga.”
Membaca Tidak Cukup, Tuliskan!
Kembali lagi
pada pembahasan awal, ternyata Indonesia alhamdulillah
saat ini sudah menyadari pentingnya karya tulis. Ini jelas sekali bahwa
kemajuan zaman terus berkembang dan berubah. Jika dulu Dr. Raghib berkata bahwa
bangsa yang maju adalah bangsa yang
membaca, maka sekarang menjadi bangsa yang maju adalah bangsa yang menulis.
Mengapa? Pertama, dengan menulis otomatis akan meningkatkan
produktivitas membaca. Kedua, menulis dapat menjadikan
seseorang berusaha memahami apa yang ditulisnya daripada hanya sekedar membaca.
Ketiga,
menulis mampu menginisiasi perubahan dan pergeseran zaman. Keempat,
menjadi peninggalan sejarah yang bernilai dalam setiap riwayat hidup
setiap orang. Kelima, mempercepat kemajuan bangsa, karena bangsa yang maju
adalah bangsa yang tidak hanya membaca tetapi juga menulis.
Maka jika DIKTI
sampai prihatin tentang kondisi akademisi yang produktivitas menulisnya itu
rendah, dapat kita bayangkan bagaimana produktivitas membaca dan menulis mereka
yang pendidikannya biasa-biasa saja? Padahal dengan segala kemudahan akses yang
ada sekarang, membaca dan menulis seharusnya menjadi aktivitas yang mudah
semudah membalikkan kedua telapak tangan bukan? Mentor menulis saya, Mbak
Afifah Afra pernah berkata, “sebenarnya mereka yang belum menghasilkan sebuah
tulisan dalam hidupnya seperti manusia prasejarah.” Mungkin terdengarnya kejam,
tetapi saya sendiri sering membatin bahwa di kondisi digital yang sudah sangat
memudahkan ini, ketika suatu saat kita meninggalkan dunia tanpa ada ilmu
bermanfaat yang kita tuliskan untuk dunia itu adalah sangat keterlaluan.
Produktivitas Umat Islam dan
Bangsa Indonesia Kini?
Pertanyaan itu
silakan dijawab dalam hati kita masing-masing. Tetapi izinkan sekali lagi saya
membuka sebuah lembar sejarah di bumi kita. Anda tahu Snouck Horgonje? Seorang
ahli dan konsultan militer Belanda ini pernah kesulitan menghadapi tentara
muslim di Indonesia. Akhirnya sejarah menuliskan dia menyamar sebagai seorang
ulama dan kemudian menjadi seorang pembesar di kalangan umat Islam yang
akhirnya umat Islam pun bungkam dari perjuangan. Kenapa? Karena Snouck
memberikan doktrin sekularisme yang memisahkan umat Islam antara agama, ilmu,
dan politik. Setiap umat Islam didoktrin, bahwa kita cukuplah menjadi orang
sederhana, rajin shalat, banyak-banyak menghafal quran, ke masjid saja, tidak
perlu beraktivitas politik, tidak perlu belajar ilmu dunia, dunia untuk orang
kafir, akhirat untuk muslim.
Kenyataannya,
masih banyak dari kita yang (mungkin) masih sering berfikir seperti itu. Buat
apalah kita menjadi orang pinter, toh nantinya juga kita akan mati. Buat apa
kita menghasilkan tulisan, toh yang penting pengamalan. Buat apa kita menguasai
dunia? Toh kita nanti akan bahagia di akhirat, dunia itu hanya sementara! Akhirnya
apa? Produktivitas kita mati! Output kita macet! Bangsa ini akhirnya mudah diinjak-injak, difitnah dan
selalu dipandang rendah oleh bangsa lain. Jika Nabi Muhammad mengajarkan doktrin
seperti itu, saya yakin di dunia ini tidak ada yang namanya agama Islam. Islam
itu bisa bertahan keasliannya hingga saat ini karena ajarannya yang mengajarkan
berharganya waktu, mengajarkan kita untuk berkarya di dunia untuk mencapai
kemuliaan di akhirat, dan yang pasti mengajarkan produktivitas. Dalam QS. Al ‘Ashr
bahkan disebutkan bahwa semua orang itu rugi kecuali mereka yang beriman, beramal, dan bermanfaat (saling
menasihati dalam kebenaran dan kesabaran).
Maka melalui
tulisan ini saya mengingatkan khususnya untuk diri saya sendiri, bahwa kita
jangan hanya bangga sebagai bangsa Indonesia. Beraksilah secara nyata, menghasilkan
karya, untuk memajukan bangsa kita. Jadilah seorang yang Cerdas, di mana kita
mencapai keunggulan dan menghasilkan banyak karya namun diiringi sifat Mulia,
di mana keunggulan dan karya itu bermanfaat untuk kemaslahatan umat.
Sebagai
penutup, kita bisa menjawab beberapa pertanyaan ini dalam hati:
1.
Berapa buku yang telah saya baca dan berapa buku
yang telah saya tulis?
2.
Kira-kira, ketika setiap orang mendengar nama
saya, apa yang mereka ingat?
3. Saat saya meninggal, sejarah Indonesia akan
mencatat diri saya sebagai apa? Atau saya tidak dikenang sama sekali dan
sekedar lewat untuk hidup?
4. Jika saya menginginkan surga, seberapa layak
dibandingkan dengan ilmu dan kontribusi saya untuk dunia? Bukankah surga itu
untuk orang-orang yang istimewa?
Semoga kita
tidak kehabisan umur dan waktu untuk menyebarkan inspirasi lewat
gagasan-gagasan kita. Menulis memang mungkin tidak semua orang suka, tetapi
semua bisa menulis. Sama persis seperti membaca. Tidak semua orang suka
membaca, tetapi bisa menulis. Jangan sampai kita meremehkan diri kita tidak
dapat menulis hanya karena kita tidak suka. Investasikan waktu Anda untuk
membuat tulisan bermanfaat, artikel di blog, majalah, koran, twitter, facebook,
hingga sebuah buku. InsyaAllah itu
tidak hanya bermanfaat di dunia, karena ilmu yang bermanfaat adalah salah satu
sebab terus mengalirnya pahala bagi mereka yang telah wafat.
Salam
CerdasMulia!
Arry Rahmawan, adalah presiden direktur Penerbit Andalusia Media Cendekia, wakil ketua Center for Entrepreneurship Development and Studies Universitas Indonesia, sekaligus praktisi pengembangan SDM. Telah mengantongi ribuan jam terbang sebagai pembicara dan khususnya untuk pelajar dan mahasiswa. Pendiri de' Rahmawan Group dan Rahmawan Foundation yang bergerak dalam pengembangan pendidikan generasi muda. Untuk menghubunginya silakan kirimkan email ke arry.rahmawan@gmail.com atau follow twitternya di @arry2201