27 Februari 2012 | By: Arry Rahmawan

Hati-Hati dengan Sindrom Hedonic Treadmill

Pernahkah sebelumnya Anda mendengar tentang Hedonic Treadmill? Kalau secara kasar dan diartikan kata per kata sih, Hedonic berarti kita bersenang-senang, mencari bahagia dan treadmill adalah alat fitness. Itu loh yang suka dipakai buat lari-lari di tempat. Lah, apa hubungannya hedonic sama treadmill? Ada hubungannya, dan ternyata Hedonic Treadmill merupakan salah satu penyakit psikologis yang membuat kita sulit untuk bahagia. Mau tahu lebih lanjut? Silakan baca selengkapnya. :)


Berkenalan dengan Hedonic Treadmill
Buat yang belum tahu, sebelumnya Kak Arry kenalkan dulu dengan sebuah konsep yang bernama hedonic adaptation. Jadi apakah yang dimaksud hedonic adaptation itu? Konsep ini diperkenalkan oleh dua orang ilmuwan bernama Philip Brickmann dan Donald Campbell. Inti dari konsep hedonic treadmill adalah bagaimana seseorang ternyata cenderung kembali pada standar kebahagiaan hidup yang sebelumnya.

Sebagai contoh gini deh. Kamu adalah seorang gamer mania. Dulu, punya playstation generasi pertama rasanya sudah bahagia banget. Tetapi lama kelamaan rasa itu memudar ketika keluar playstation 2. Kamu kemudian berkesimpulan kebahagiaan akan bertambah jika saja memiliki playstation 2 itu. Setelah dibeli, ternyata kebahagiaan itu hanya beberapa hari saja karena keluar playstation portable. Kamu merasa bahwa kebahagiaan kamu akan naik seiring dengan memiliki playstation portable itu. Sampai kemudian hal ini terulang, terulang, dan terulang kembali seterusnya.

Nah, fenomena ini kemudian dikaitkan dengan treadmill. Kenapa? Karena treadmill itu identik dengan orang yang berlari dan mengejar sesuatu di tempat. Banyak sekali orang yang terjerumus dan meyakini bahwa meningkatkan standar hidup dari hari ke hari akan semakin meningkatkan rasa bahagia mereka, tetapi nyatanya apa yang mereka rasakan itu semu dan seperti sedang berjalan di treadmill, kebahagiaannya jalan di tempat.

Kesuksesan, Materi, dan Kebahagiaan
Sudah banyak sekali contoh yang menjelaskan kepada kita akan dampak dari hedonic treadmill ini. Orang merasa yakin bahwa bahagia itu bisa dicapai ketika kaya, banyak harta, memiliki jabatan tertentu, dan sebagainya. Sayangnya, kebahagiaan itu muncul dari hati yang paling dalam. Kebahagiaan itu muncul dari pengendalian nafsu yang berbentuk rasa syukur.

Apakah ini berarti kita tidak boleh menjadi kaya dan bekerja lebih keras agar mendapatkan kesuksesan yang lebih baik? Sama sekali bukan seperti itu pengertiannya. Hanya penekanannya, jika semua pencapaian sukses itu self-oriented, hanya akan membawakan kebahagiaan yang semu dan sementara. Rasulullah sudah mencontohkan hal yang luar biasa, di mana beliau menjadi saudagar kaya dan pemimpin yang disegani itu bukan untuk dirinya, tetapi bersyukur dengan mengoptimalkan potensi dirinya, menebarkan manfaat bagi sesama, dan membangun peradaban Islam ke seluruh pelosok dunia. Itulah kebahagiaan sejati. Kaya untuk memperkaya, cerdas untuk mencerdaskan, dan mulia untuk memuliakan.

So, sudah tahu dong dengan hedonic treadmill? Nah maksud Kak Arry (sekaligus mengingatkan diri sendiri), jangan-jangan kita terkena sindrom hedonic treadmill? Kita selalu mengejar kebahagiaan di luar dan di luar terus menerus semakin meningkat tetapi ternyata kita hanya berjalan di tempat. Semoga kita tidak seperti itu, Semoga kita adalah orang yang selalu bersyukur, mampu memberikan potensi terbaik, dan menjadi orang yang memberikan banyak manfaat kepada orang lain.

Semoga bermanfaat, salam CerdasMulia! :)

Arry Rahmawan, adalah Inspirator CerdasMulia,  Direktur Penerbit Granada, wakil ketua Center for Entrepreneurship Development and Studies Universitas Indonesia, sekaligus praktisi pengembangan SDM. Telah mengantongi ribuan jam terbang sebagai pembicara, motivator, dan konsultan khususnya untuk pelajar dan mahasiswa. Direktur Pengembangan Bisnis Permata CerdasMulia Indonesia ini dapat dihubungi via email di arry.rahmawan@gmail.com atau follow twitternya di @arry2201

Dipersilahkan untuk menyebarkan tulisan ini dalam bentuk apa pun, asalkan tetap menjaga kode etik dengan mencantumkan Arry Rahmawan sebagai penulisnya dan Blog Kak Arry sebagai sumbernya